Rabu, 09 Mei 2012

Liputan Jogjakarta, Jawatengah

Keberangkatan saya ke Yogyakarta, Jawa Tengah memang bukan kali pertama, tapi ini adalah pengalaman perdana saya pergi ke kota gudeg sendirian. Bahkan, perjalanan ini dengan armada pesawat. Kalau naik bus atau kereta mungkin nggak terlalu bingung, setidaknya transportasi rakyat itu pernah saya lakoni.

Ya, walaupun itu beberapa tahun silam, itupun hanya ke Bandung atau Cirebon, Jawa Barat. Minggu pagi (6/5) kala itu saya di tugaskan kantor mengawal reses anggota Komisi III DPR, Tjatur Sapto Edi ke daerah pemilihannya Jateng VI. Di saat kawan-kawan terlelap meninkmati hari libur, saya justru mencoba menikmati hari libur dengan mengikuti aktivitas politisi PAN itu. Sehari sebelum pemberangkatan, saya di hubungi dengan staff Tjatur, Dewi. "Mas, dengan pesawat Garuda, besok berangkat pukul 06.10,"

Untuk mengantisipasi "missprosedure" di Bandara Soekarno Hatta, saya berangkat jauh-jauh waktu. Langkah pertama meninggalkan rumah, jarum jam (pendek) mengarah antara angka 3 dan 4, sementara jarum (panjangnya) menunjukkan keangka 6.

Sekalipun untuk berkerja, mengisi kata dan merangkainya menjadi sebuah bait dan paragraf di halaman Bursa Parpol untuk harian Rakyat Merdeka, tapi saya harus menikmatinya. Sebagai wartawan, saya harus siap dan pantang menolak liputan.

Tepat pukul 7.30 pesawat mendarat di Bandara Adisucipto, Jogyakarta.
Disambut Pak Zaenal, kita mengejar pembukaan gerak jalan di Temanggung. Perjalanan Bandara-Temanggung membutuhkan waktu sekitar 3 jam. Sayangnya, dengan jarak tempuh yang jauh, saya tidak sempat menyaksikan pembukaan tersebut. Dengan menambah kecepatan mobilnya, Pak Zaenal langsung meluncur ke tempat kunjungan kedua, Wononosobo.

Jarak tempuh Temanggung-Wonosobo sepertiga Bandara-Temanggung. Tapi, dengan waktu singkat, saya bisa meliput kegiatan ketua Fraksi PAN itu. Disana Tjatur memberikan sumbangan Rp 40 Juta kepada Pemerintah Daerah Wonosobo untuk pembibitan yang akan ditanam oleh siswa/i. Tjatur berharap, bantuan itu mampu memberikan pemahaman dan pembelajaran bagi anak-anak usia sekolah untuk mencintai serta melestarikan alam.

Menurutnya, Wonosobo merupakan paru-paru Jawa Tengah. Karena, itu penghijauan kabupaten itu terus digalakkan. "Kalau alamnya tak terjaga, maka sepertiga Jateng akan terkena bencana,"katanya. Bencana bukan hanya disekitar, insinyur lingkungan itu menegaskan, impacknya bisa ke seluruh Jawa. "Bahkan, rusak dan tidak bisa kembali (iresebel)."

Dia menegaskan, sebagai paru-paru Jawa, Wonosobo harus diberikan tempat yang istimewa di daerah Jateng. "Karena Wonosobo adalah centre of indonesia." Setelah itu, perjalananpun dilanjutkan menuju lokasi terakhir, Purworejo. Dengan diiringi 4 empat mobil, kami melaju beriringan cepat.

Walaupun akses transportasinya jelek dan berliku-liku. Tapi, nampaknya itu bukan masalah besar. Hanya saja, kepala dan perutku yang tak bisa kompromi, rasanya ingin muntah. Memejamkan matapun tak mampu mengobati rasa mual itu. >>>